Efek FOMO (Fear of Missing Out) pada Liburan Mahasiswa
![](https://statik.unesa.ac.id/plb/thumbnail/322d730b-e6b0-4021-9a6f-f977c7fc54ac.jpg)
Fear of Missing Out (FOMO) sering kali menjadi fenomena yang menghantui mahasiswa, terutama saat liburan tiba. Mahasiswa kerap merasa tertekan ketika melihat teman-temannya membagikan momen liburan mewah di media sosial. Pemandangan foto-foto di destinasi wisata mahal, makan malam istimewa, atau hadiah Natal berharga tinggi memicu rasa iri dan tidak puas terhadap situasi mereka sendiri. Hal ini semakin parah ketika mahasiswa membandingkan diri dengan orang lain yang terlihat memiliki pengalaman lebih "sempurna." Rasa tidak cukup baik ini berdampak buruk pada kesehatan mental, termasuk kecemasan dan rendahnya rasa percaya diri. Dalam konteks mahasiswa yang belajar di bidang pendidikan luar biasa atau anak berkebutuhan khusus, tekanan ini mungkin terasa lebih kompleks. Mahasiswa tersebut sering memiliki fokus akademik yang lebih berat, seperti mengembangkan media pembelajaran kreatif atau menyelesaikan tugas lapangan. Akibatnya, mereka tidak memiliki waktu atau anggaran untuk liburan seperti yang dilakukan teman-temannya. Kondisi ini membuat mereka merasa tertinggal dalam menikmati kebahagiaan yang "ideal."
Tekanan sosial dari FOMO semakin intens dengan peran media sosial yang memperlihatkan gaya hidup mewah secara berlebihan. Bagi mahasiswa yang fokus pada pendidikan luar biasa, melihat teman-temannya berlibur sering kali menjadi gangguan mental yang mengurangi produktivitas. Dalam pikiran mereka, waktu yang dihabiskan untuk belajar dan menciptakan media pendidikan terasa kurang dihargai dibandingkan foto-foto estetik di media sosial. Hal ini menciptakan dilema: harus tetap fokus pada studi atau mengikuti tren liburan mewah agar tidak merasa tersisih. Padahal, mahasiswa yang terlibat dalam pendidikan luar biasa memiliki tanggung jawab lebih besar, seperti mempersiapkan media yang mendukung anak berkebutuhan khusus memahami materi. Tekanan sosial seperti ini tidak hanya melemahkan motivasi belajar, tetapi juga menghambat kreativitas mereka dalam menyelesaikan tugas. Fenomena ini menyoroti pentingnya membangun kesadaran bahwa prestasi akademik dan kontribusi pada masyarakat memiliki nilai yang tak tergantikan.
FOMO juga dapat berdampak pada persepsi mahasiswa tentang identitas dan kebahagiaan mereka. Bagi mahasiswa yang belajar tentang pendidikan luar biasa, misalnya, liburan bukan sekadar waktu bersenang-senang, tetapi juga momen untuk merefleksikan pencapaian dan rencana mereka. Namun, dengan membandingkan diri secara terus-menerus dengan orang lain, mahasiswa menjadi kehilangan fokus pada perjalanan pribadi mereka. Mahasiswa pendidikan luar biasa memiliki tugas mulia untuk memberikan dampak positif bagi anak berkebutuhan khusus, sebuah misi yang membutuhkan dedikasi dan empati. Ketika mereka membandingkan diri dengan teman-teman yang menikmati liburan mewah, mereka cenderung meremehkan kontribusi mereka sendiri. Dampaknya, rasa frustrasi dapat muncul, yang akhirnya merugikan kesejahteraan mental mereka. Ini menunjukkan pentingnya memiliki kesadaran diri dan apresiasi atas peran yang dimainkan dalam komunitas pendidikan.
Mahasiswa yang fokus pada anak berkebutuhan khusus juga sering merasa waktu mereka tidak cukup untuk liburan mewah. Dalam liburan, mereka mungkin lebih banyak memanfaatkan waktu untuk menyelesaikan tugas akademik atau merancang media pembelajaran inovatif. Sementara itu, mereka melihat teman-temannya membagikan cerita tentang perjalanan ke luar negeri atau pengalaman eksklusif lainnya. Hal ini menimbulkan rasa keterasingan, seolah-olah mereka tidak termasuk dalam lingkaran sosial yang dihormati. Padahal, pekerjaan mereka untuk mendukung anak berkebutuhan khusus adalah bentuk liburan batin yang luar biasa bermakna. Mahasiswa ini harus memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu datang dari materi atau pengalaman glamor. Liburan sederhana yang dihabiskan untuk memperkaya pengalaman belajar atau berbagi dengan komunitas juga dapat memberikan kepuasan yang mendalam.
Media sosial memiliki andil besar dalam menciptakan ilusi kebahagiaan yang tidak realistis. Banyak mahasiswa lupa bahwa apa yang mereka lihat di media sosial hanyalah potongan kecil dari kenyataan. Dalam konteks mahasiswa pendidikan luar biasa, penting untuk diingat bahwa tugas mulia mereka memiliki dampak jangka panjang yang lebih berarti daripada momen liburan singkat. Alih-alih terjebak dalam siklus FOMO, mereka dapat memanfaatkan waktu liburan untuk mengembangkan keterampilan yang akan mendukung karier mereka di masa depan. Misalnya, mereka bisa mengikuti workshop, membaca buku inspiratif, atau membuat media kreatif untuk membantu anak berkebutuhan khusus. Dengan cara ini, mereka tidak hanya mengatasi tekanan sosial, tetapi juga memperkaya diri mereka sendiri. Fokus pada tujuan jangka panjang dapat menjadi kunci untuk menghindari jebakan FOMO.
Pendidikan luar biasa menuntut mahasiswa untuk memiliki empati dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Dalam proses ini, mereka belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu berasal dari kesenangan instan, tetapi dari dedikasi untuk memberikan dampak positif bagi orang lain. FOMO, jika dikelola dengan bijaksana, dapat menjadi pemicu untuk merenungkan prioritas hidup. Mahasiswa dapat menjadikan momen liburan sebagai kesempatan untuk merefleksikan apa yang benar-benar penting dalam hidup mereka. Bagi mahasiswa yang fokus pada anak berkebutuhan khusus, kebahagiaan bisa datang dari hal-hal kecil, seperti melihat anak-anak didik mereka memahami materi yang diajarkan. Dengan perspektif ini, mereka tidak lagi melihat diri mereka "ketinggalan," tetapi justru berada di jalur yang bermakna.
Sebagai penutup, penting bagi mahasiswa untuk menyadari bahwa nilai diri mereka tidak ditentukan oleh gaya hidup yang ditampilkan di media sosial. Liburan adalah waktu untuk merayakan pencapaian, baik besar maupun kecil, tanpa perlu membandingkan diri dengan orang lain. Mahasiswa pendidikan luar biasa dapat menemukan kebahagiaan dengan cara unik mereka sendiri, seperti berfokus pada tujuan yang bermanfaat bagi anak berkebutuhan khusus. Melalui pengelolaan FOMO yang baik, mereka dapat memanfaatkan liburan sebagai waktu untuk tumbuh, belajar, dan berkontribusi. Menghargai proses belajar dan kontribusi bagi masyarakat adalah bentuk kebahagiaan yang jauh lebih berharga. Dengan begitu, tekanan sosial akibat FOMO tidak lagi menjadi penghalang, melainkan motivasi untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna.