Fenomena Dosen Toxic: Merusak Harmoni Kampus dan Proses Belajar Mengajar
![](https://statik.unesa.ac.id/plb/thumbnail/a8d716df-0199-41ac-894c-ba84cdd42006.jpg)
Dosen yang bersikap toxic, seperti suka mengkritik tanpa menerima kritik, sulit meminta maaf, dan terlalu terobsesi dengan diri sendiri, merupakan ancaman bagi lingkungan akademik yang sehat. Sikap ini menciptakan ketegangan dalam hubungan antar individu, baik dengan rekan kerja maupun mahasiswa. Sebagai figur otoritas, dosen toxic memanfaatkan posisi mereka untuk menyerang, merendahkan, atau memaksakan pendapat tanpa memberikan ruang diskusi yang sehat. Menurut Dr. Travis Bradberry, penulis *Emotional Intelligence 2.0*, perilaku toxic sering kali berasal dari ketidakmampuan seseorang untuk mengelola emosinya sendiri. Ketika dosen toxic membawa suasana hati yang negatif ke ruang kerja atau kelas, hal ini mengurangi produktivitas, semangat, dan motivasi orang-orang di sekitarnya. Lingkungan kampus yang seharusnya mendukung kolaborasi justru menjadi tempat yang penuh tekanan emosional. Sikap sulit meminta maaf dan tidak mau disalahkan hanya memperburuk situasi karena menciptakan jarak antara dosen toxic dan rekan-rekan mereka. Akibatnya, lingkungan kerja menjadi kurang suportif, dan mahasiswa merasa enggan untuk berinteraksi. Penting untuk menyadari bahwa perilaku toxic ini berdampak serius pada kualitas pendidikan dan hubungan profesional.
Bagi rekan kerja, dosen toxic menjadi sumber konflik dan hambatan dalam kerja tim. Mereka cenderung mendominasi diskusi tanpa memberikan ruang bagi ide atau kontribusi dari orang lain. Ketika dikritik, dosen toxic sering merespons dengan defensif atau bahkan menyerang balik, yang menciptakan suasana kerja yang tidak kondusif. Menurut Prof. Christine Porath, seorang pakar perilaku di tempat kerja, perilaku toxic seperti ini tidak hanya merugikan individu tetapi juga merusak budaya organisasi. Rekan kerja yang harus berhadapan dengan dosen toxic sering merasa stres, kehilangan motivasi, dan bahkan mengalami burnout. Selain itu, ketidakmampuan dosen toxic untuk meminta maaf atau menerima tanggung jawab memperkuat kesan bahwa mereka tidak dapat dipercaya sebagai partner kerja. Dalam jangka panjang, perilaku ini menghambat kolaborasi akademik yang seharusnya menjadi fondasi keberhasilan institusi pendidikan. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan mekanisme yang memungkinkan rekan kerja melaporkan perilaku toxic tanpa takut akan dampak negatif.
Dampak negatif dosen toxic terhadap mahasiswa bahkan lebih signifikan karena mahasiswa berada dalam posisi yang lebih rentan. Kritik berlebihan atau komentar merendahkan dari dosen toxic dapat merusak rasa percaya diri mahasiswa dan menghambat perkembangan akademik mereka. Mahasiswa yang menghadapi dosen toxic sering merasa tidak nyaman untuk mengajukan pertanyaan atau meminta bimbingan, yang pada akhirnya mengurangi kualitas pembelajaran. Menurut Dr. Carol Dweck, penulis *Mindset: The New Psychology of Success*, lingkungan belajar yang tidak mendukung dapat menghambat mahasiswa dalam mengembangkan *growth mindset* mereka. Selain itu, dosen toxic yang membawa suasana hati negatif ke dalam kelas menciptakan ketegangan yang mengganggu fokus dan produktivitas mahasiswa. Dalam beberapa kasus, mahasiswa bahkan dapat mengalami gangguan psikologis seperti kecemasan atau depresi akibat interaksi dengan dosen toxic. Oleh karena itu, penting bagi institusi pendidikan untuk melindungi mahasiswa dari perilaku toxic yang merusak pengalaman belajar mereka.
Sikap sulit meminta maaf dan tidak mau disalahkan pada dosen toxic menunjukkan kurangnya tanggung jawab sebagai pendidik dan figur otoritas. Ketika seorang dosen toxic menolak untuk mengakui kesalahan mereka, mereka kehilangan rasa hormat dari rekan kerja dan mahasiswa. Menurut Dr. Brené Brown, seorang peneliti tentang kerentanan dan kepemimpinan, kemampuan untuk meminta maaf dan menerima kesalahan adalah tanda kepemimpinan yang autentik dan berintegritas. Sebaliknya, dosen toxic yang selalu menyalahkan orang lain menciptakan suasana kerja yang penuh ketidakpercayaan dan permusuhan. Sikap ini tidak hanya merugikan hubungan antar individu tetapi juga merusak reputasi dosen itu sendiri. Mahasiswa dan rekan kerja mungkin mulai menghindari interaksi dengan mereka, yang pada akhirnya mengisolasi dosen toxic dari lingkungan kerja atau belajar. Dalam jangka panjang, ketidakmampuan untuk meminta maaf atau menerima tanggung jawab dapat merusak karier akademik dan hubungan profesional mereka.
Terlalu terobsesi dengan diri sendiri adalah ciri khas lain dari dosen toxic yang merugikan semua kalangan. Dosen dengan sifat ini sering mengabaikan kebutuhan atau kepentingan orang lain, termasuk rekan kerja dan mahasiswa. Obsesi terhadap diri sendiri membuat mereka sulit untuk bersikap empati atau memahami perspektif orang lain. Menurut Dr. Jean Twenge, penulis *The Narcissism Epidemic*, perilaku narsistik seperti ini merusak hubungan interpersonal karena memprioritaskan kepentingan pribadi di atas segalanya. Dalam konteks akademik, dosen yang terobsesi dengan diri sendiri mungkin lebih fokus pada prestasi pribadi daripada memberikan bimbingan yang memadai kepada mahasiswa. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam hubungan guru-murid yang seharusnya berdasarkan rasa saling menghormati dan mendukung. Selain itu, rekan kerja mungkin merasa diabaikan atau direndahkan oleh sikap narsistik tersebut, yang memperburuk hubungan profesional. Obsesi terhadap diri sendiri tidak hanya menciptakan ketegangan tetapi juga mengurangi kualitas pengajaran dan penelitian yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Para ahli sepakat bahwa perilaku toxic harus ditangani melalui pendekatan sistemik di lingkungan akademik. Menurut Prof. Robert Sutton, penulis *The No Asshole Rule*, institusi harus memiliki kebijakan yang jelas untuk menangani individu dengan perilaku toxic, termasuk pelatihan perilaku profesional dan sanksi tegas jika diperlukan. Edukasi tentang pentingnya empati, komunikasi, dan tanggung jawab dapat membantu dosen memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain. Selain itu, institusi harus menyediakan saluran pelaporan yang aman bagi rekan kerja atau mahasiswa yang merasa menjadi korban perilaku toxic. Kampus juga perlu mempromosikan budaya kerja yang inklusif dan mendukung, di mana setiap individu merasa dihargai dan didengar. Dengan langkah-langkah ini, institusi pendidikan dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan produktif bagi semua pihak.
Kesimpulannya, dosen toxic yang suka mengkritik tanpa menerima kritik, sulit meminta maaf, dan terlalu terobsesi dengan diri sendiri adalah ancaman serius bagi harmoni dan produktivitas lingkungan akademik. Dampaknya dirasakan oleh rekan kerja, mahasiswa, dan institusi secara keseluruhan, yang mencakup kerusakan hubungan interpersonal, penurunan kualitas pembelajaran, dan stres emosional. Pendapat para ahli seperti Dr. Travis Bradberry, Prof. Christine Porath, dan Dr. Brené Brown menegaskan pentingnya menangani perilaku toxic melalui edukasi, kebijakan tegas, dan perubahan budaya kerja. Dengan mengidentifikasi dan mengatasi perilaku toxic, institusi pendidikan dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kolaborasi, inovasi, dan pembelajaran. Dosen yang berperilaku baik dan bertanggung jawab adalah kunci untuk menjaga integritas dan keberhasilan lingkungan akademik. Tanpa perilaku toxic, kampus dapat menjadi tempat yang harmonis dan produktif bagi semua kalangan.