Gaslighting Terhadap Korban Pelecehan Seksual: Luka Psikologis yang Berlipat Ganda
![](https://statik.unesa.ac.id/plb/thumbnail/43cbe38a-94d5-4e87-9fbf-17a3a980b19f.jpg)
Gaslighting terhadap korban pelecehan seksual adalah tindakan yang sangat berbahaya dan tidak manusiawi. Gaslighting terjadi ketika pelaku atau pihak lain mencoba membuat korban meragukan pengalaman atau ingatannya tentang pelecehan yang dialami. Misalnya, korban mungkin diberi komentar seperti "Itu cuma bercanda," atau "Kamu terlalu berlebihan," yang meremehkan perasaan dan kenyataan korban. Menurut Dr. Robin Stern, seorang psikolog dan penulis buku *The Gaslight Effect*, gaslighting adalah bentuk manipulasi psikologis yang membuat korban merasa kehilangan kendali atas kenyataan mereka. Dalam kasus pelecehan seksual, gaslighting tidak hanya memperparah trauma korban, tetapi juga menghambat mereka untuk mencari keadilan atau mendapatkan dukungan. Lingkungan sosial yang mendukung gaslighting terhadap korban menciptakan budaya impunitas bagi pelaku. Akibatnya, korban merasa semakin terisolasi dan tidak berdaya untuk melawan sistem yang tidak berpihak pada mereka. Oleh karena itu, gaslighting terhadap korban pelecehan seksual harus diakui sebagai bentuk kekerasan psikologis yang membutuhkan perhatian serius.
Dampak gaslighting terhadap korban pelecehan seksual sangat merusak, baik secara emosional maupun mental. Korban yang mengalami gaslighting sering kali mulai meragukan kebenaran pengalaman mereka sendiri. Mereka mungkin merasa bersalah, malu, atau bahkan menganggap diri mereka yang bersalah atas apa yang terjadi. Menurut Dr. Jennifer Freyd, seorang ahli trauma, gaslighting dapat memicu *betrayal trauma*, yaitu perasaan dikhianati oleh orang atau sistem yang seharusnya melindungi mereka. Perasaan ini menyebabkan korban menjadi terisolasi dan enggan berbicara tentang pengalaman mereka, yang akhirnya menghambat proses penyembuhan. Selain itu, gaslighting juga dapat memperburuk gangguan stres pascatrauma (PTSD) yang sering dialami oleh korban pelecehan seksual. Dalam jangka panjang, ini dapat berdampak pada kehidupan sosial, akademik, atau profesional korban. Oleh karena itu, penting untuk memberikan dukungan yang tepat kepada korban dan memastikan mereka tidak menghadapi gaslighting, baik dari pelaku, institusi, maupun masyarakat sekitar.
Bahaya gaslighting terhadap korban juga meluas ke lingkungan sosial dan masyarakat secara umum. Ketika gaslighting menjadi praktik yang diterima atau tidak disadari, hal ini memperkuat budaya patriarki dan victim blaming (menyalahkan korban). Korban tidak hanya kehilangan kepercayaan pada diri sendiri, tetapi juga kehilangan kepercayaan pada sistem hukum, institusi, atau komunitas yang seharusnya membantu mereka. Menurut Prof. Louise Fitzgerald, seorang psikolog dan ahli pelecehan seksual, normalisasi gaslighting menciptakan lingkungan di mana pelaku merasa lebih leluasa untuk melakukan tindakan pelecehan tanpa takut akan konsekuensi. Ini merugikan semua kalangan, karena siapa pun bisa menjadi korban di masa depan. Selain itu, masyarakat yang mendukung gaslighting cenderung mengabaikan atau meremehkan pentingnya keadilan dan empati. Dengan kata lain, gaslighting tidak hanya merugikan individu korban tetapi juga menciptakan masyarakat yang tidak adil dan tidak manusiawi.
Institusi pendidikan atau tempat kerja sering menjadi lokasi di mana gaslighting terhadap korban pelecehan seksual terjadi. Dalam konteks ini, pelaku atau pihak lain mungkin mencoba melindungi reputasi institusi dengan meremehkan laporan korban atau mengabaikan bukti yang ada. Misalnya, korban mungkin diberitahu bahwa melaporkan pelecehan akan "mencemarkan nama baik" institusi atau bahwa kejadian tersebut tidak cukup serius untuk ditindaklanjuti. Menurut Dr. Sharyn Roach Anleu, seorang sosiolog, institusi yang mendukung gaslighting terhadap korban berkontribusi pada budaya diam dan ketidakadilan. Korban yang menghadapi gaslighting institusional sering merasa bahwa suara mereka tidak didengar, yang membuat mereka enggan untuk mencari bantuan di masa depan. Ini tidak hanya merugikan korban tetapi juga memperburuk citra institusi di mata publik. Oleh karena itu, penting bagi institusi untuk memiliki kebijakan yang tegas dalam menangani kasus pelecehan seksual dan melindungi korban dari gaslighting.
Gaslighting terhadap korban pelecehan seksual juga berdampak buruk pada orang-orang di sekitar korban, seperti keluarga, teman, atau kolega. Ketika korban diragukan atau tidak dipercaya, orang-orang terdekat mereka mungkin ikut meragukan cerita korban, yang memperparah perasaan isolasi dan ketidakpercayaan. Menurut Dr. Elizabeth Loftus, seorang psikolog dan pakar memori, manipulasi seperti gaslighting dapat memengaruhi ingatan seseorang, termasuk orang-orang di sekitar korban. Ini berarti bahwa narasi palsu yang dibuat oleh pelaku atau pihak lain dapat memengaruhi cara keluarga atau teman melihat pengalaman korban. Akibatnya, korban kehilangan dukungan sosial yang sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan mereka. Dalam jangka panjang, ini juga merusak hubungan interpersonal yang penting bagi kesehatan mental dan emosional korban. Oleh karena itu, penting bagi orang-orang di sekitar korban untuk mendengarkan mereka dengan empati dan memberikan dukungan tanpa menghakimi.
Para ahli sepakat bahwa menghentikan gaslighting terhadap korban pelecehan seksual membutuhkan edukasi, advokasi, dan perubahan budaya yang signifikan. Menurut Dr. Judith Herman, seorang ahli trauma, langkah pertama adalah menciptakan ruang yang aman di mana korban dapat berbicara tanpa takut dihakimi atau diragukan. Selain itu, masyarakat perlu diberi edukasi tentang pentingnya percaya pada korban dan mendukung mereka dalam proses penyembuhan. Kampanye publik dan pelatihan tentang kesadaran pelecehan seksual dapat membantu mengurangi gaslighting di lingkungan sosial dan institusional. Institusi pendidikan, tempat kerja, dan komunitas harus memiliki kebijakan yang jelas untuk menangani pelecehan seksual dan melindungi korban dari gaslighting. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih adil dan mendukung bagi semua pihak.
Kesimpulannya, gaslighting terhadap korban pelecehan seksual adalah bentuk kekerasan psikologis yang memperburuk trauma korban dan merusak struktur sosial. Dampaknya dirasakan tidak hanya oleh korban tetapi juga oleh masyarakat secara keseluruhan, yang kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Pendapat para ahli seperti Dr. Robin Stern, Dr. Jennifer Freyd, dan Prof. Louise Fitzgerald menegaskan bahwa gaslighting harus diatasi melalui edukasi, kebijakan yang tegas, dan dukungan sosial yang empatik. Dengan menghapus gaslighting, kita dapat memperkuat budaya yang mendukung keadilan, integritas, dan empati. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa korban pelecehan seksual mendapatkan keadilan yang mereka butuhkan dan lingkungan sosial menjadi tempat yang aman bagi semua individu. Masyarakat yang bebas dari gaslighting adalah masyarakat yang lebih beradab dan menghormati martabat setiap manusia.