Inclusive Education in Higher Education: The Perspective of Lecturer
![](https://statik.unesa.ac.id/plb/thumbnail/7f4a7031-adf3-4883-82d4-c5711fda27e4.jpg)
Hak akses terhadap pendidikan berkualitas adalah hak mendasar setiap individu, termasuk penyandang disabilitas. Sejak Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) diberlakukan pada 2006, berbagai upaya dilakukan untuk memastikan pendidikan inklusif dapat diakses oleh semua kalangan. Di Indonesia, langkah konkret baru terlihat dengan terbitnya Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 16 Tahun 2017. Peraturan ini memberikan dasar hukum yang kuat untuk mendukung hak penyandang disabilitas dalam mengakses pendidikan tinggi. Dampaknya terlihat dari peningkatan jumlah mahasiswa disabilitas di universitas setiap tahun. Namun, seiring peningkatan jumlah tersebut, kualitas praktik pendidikan inklusif di perguruan tinggi masih menjadi pertanyaan besar.
Pendidikan inklusif didefinisikan secara sederhana sebagai upaya memberikan kesempatan yang setara kepada semua individu untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Dalam konteks ini, perspektif dosen menjadi faktor kunci yang memengaruhi implementasi pendidikan inklusif. Sayangnya, studi yang mendalami perspektif dosen di perguruan tinggi masih terbatas. Kebanyakan penelitian sebelumnya hanya berfokus pada praktik pembelajaran di sekolah dasar dan menengah. Hal ini menyisakan celah besar dalam memahami bagaimana dosen di perguruan tinggi melihat dan mendukung pendidikan inklusif.
Ini menunjukkan bahwa sebagian besar dosen memiliki pandangan positif terhadap pendidikan inklusif, terutama dalam hal adaptasi kurikulum. Sebagian besar dosen setuju bahwa kurikulum perlu fleksibel dan mendukung kebutuhan mahasiswa disabilitas. Namun, tantangan muncul ketika kurikulum yang ada dinilai belum cukup aksesibel. Dosen merasa terbebani dengan kurangnya sumber daya untuk mengadaptasi kurikulum. Meskipun demikian, mayoritas responden mendukung pendidikan inklusif sebagai bagian dari mata kuliah wajib, menunjukkan komitmen yang kuat untuk belajar dan mengembangkan sistem yang lebih inklusif di perguruan tinggi.
Regulasi dan manajemen juga menjadi perhatian utama dalam implementasi pendidikan inklusif. Dosen sepakat bahwa dukungan regulasi, pendanaan, dan keberadaan tim khusus sangat penting untuk mewujudkan pendidikan inklusif yang berkualitas. Meski demikian, sosialisasi terkait regulasi nasional pendidikan inklusif masih dirasa kurang merata di setiap fakultas. Ketidakseragaman pemahaman ini dapat menghambat upaya implementasi yang konsisten di seluruh universitas. Oleh karena itu, langkah konkret seperti peningkatan sosialisasi dan evaluasi regulasi harus segera dilakukan.
Sistem pendukung menjadi area lain yang memerlukan perhatian serius. Banyak dosen menyatakan ketidakpuasan terhadap kurangnya aksesibilitas sumber belajar, minimnya pelatihan untuk dosen, dan tidak jelasnya keberadaan unit layanan disabilitas. Padahal, sistem pendukung yang baik seperti teknologi bantu dan layanan khusus sangat penting untuk menunjang proses belajar mahasiswa disabilitas. Hal ini menekankan kebutuhan mendesak untuk membangun fasilitas yang lebih baik di perguruan tinggi guna mendukung pendidikan inklusif.
Kolaborasi juga menjadi elemen penting dalam mendukung pendidikan inklusif. Dosen sepakat bahwa kemitraan dengan pihak eksternal, baik di tingkat nasional maupun internasional, sangat dibutuhkan. Mereka juga mendukung pembentukan tim multidisiplin untuk merancang solusi pendidikan yang lebih inklusif. Namun, praktik kolaborasi masih jauh dari ideal, dengan universitas seringkali pasif dalam menginisiasi kemitraan. Temuan ini sejalan dengan laporan sebelumnya yang menyoroti kurangnya inisiatif dalam membangun kerja sama yang efektif.
Secara keseluruhan, ini mengungkap bahwa meskipun dosen memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan inklusif, implementasi di lapangan masih jauh dari sempurna. Keterbatasan sumber daya, regulasi yang kurang disosialisasikan, serta minimnya kolaborasi menjadi hambatan utama. Meski demikian, pandangan positif dosen terhadap pendidikan inklusif menjadi modal besar untuk memperbaiki sistem yang ada. Diharapkan, temuan ini dapat menjadi dasar bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan regulasi yang lebih baik serta memacu penelitian lanjutan untuk mendalami aspek-aspek penting pendidikan inklusif di perguruan tinggi.
Sebagai langkah ke depan, perlunya peningkatan pelatihan bagi dosen, pengadaan fasilitas pendukung yang memadai, serta penguatan kolaborasi dengan berbagai pihak. Implementasi pendidikan inklusif tidak hanya menjadi tanggung jawab universitas, tetapi juga membutuhkan sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Dengan komitmen bersama, harapan untuk menciptakan lingkungan pendidikan tinggi yang inklusif dan berkualitas dapat terwujud.
A Journal by: M. Nurul Ashar