Mengakhiri Penyalahgunaan Kekuasaan di Kampus: Membangun Lingkungan Akademik yang Bermartabat
![](https://statik.unesa.ac.id/plb/thumbnail/41bfcc7e-b258-4242-a61a-b95bb1d126ce.jpg)
Penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan kampus merupakan permasalahan serius yang dapat merusak integritas akademik dan moral institusi pendidikan. Kasus ini sering terjadi dalam bentuk hubungan hierarkis antara dosen senior dan dosen junior, serta antara dosen dan mahasiswa. Dosen senior yang menyalahgunakan kekuasaannya sering kali mendominasi dosen junior melalui tekanan mental, beban kerja yang tidak adil, atau penolakan terhadap ide-ide baru. Hal ini menciptakan atmosfer yang tidak sehat dan menghambat kreativitas serta kolaborasi. Menurut Dr. Edgar Schein, seorang ahli budaya organisasi, lingkungan kerja yang toxic seperti ini menurunkan produktivitas dan motivasi individu dalam organisasi. Dalam konteks hubungan dosen-mahasiswa, penyalahgunaan kekuasaan dapat berbentuk pemaksaan, intimidasi, hingga eksploitasi, baik secara akademik maupun pribadi. Situasi ini merusak hubungan profesional yang seharusnya didasarkan pada rasa saling menghormati dan pengembangan potensi. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi penyalahgunaan kekuasaan demi menciptakan lingkungan kampus yang sehat dan bermartabat.
Penyalahgunaan kekuasaan oleh dosen senior terhadap dosen junior sering kali didasari oleh rasa superioritas atau ketakutan akan kehilangan dominasi. Dosen senior mungkin merasa memiliki hak untuk mengontrol rekan junior dengan cara yang tidak adil, seperti memberikan beban kerja berlebihan atau merendahkan ide mereka di forum akademik. Menurut Prof. Robert Sutton, seorang ahli perilaku organisasi, perilaku semacam ini adalah ciri khas "bos toksik," yang menciptakan suasana kerja yang penuh stres dan ketidaknyamanan. Dalam jangka panjang, hal ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menghambat perkembangan institusi akademik secara keseluruhan. Dosen junior yang mengalami tekanan seperti ini sering kali merasa tidak memiliki ruang untuk berkembang atau mengekspresikan diri, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kualitas pengajaran dan penelitian mereka. Selain itu, perilaku dominasi seperti ini melanggengkan budaya hierarkis yang tidak sehat dalam institusi pendidikan. Oleh karena itu, institusi pendidikan perlu mengembangkan kebijakan yang melindungi dosen junior dari penyalahgunaan kekuasaan, termasuk mekanisme pelaporan yang aman dan tindakan tegas terhadap pelaku.
Penyalahgunaan kekuasaan dosen terhadap mahasiswa sering kali lebih kompleks karena melibatkan dinamika kekuasaan yang sangat timpang. Dalam hubungan ini, mahasiswa berada dalam posisi yang lebih rentan karena ketergantungan mereka pada dosen dalam hal penilaian, bimbingan, atau rekomendasi akademik. Beberapa dosen mungkin memanfaatkan posisi ini untuk memaksakan kehendak mereka, baik dalam hal akademik maupun pribadi. Contohnya, mahasiswa dapat dipaksa untuk melakukan pekerjaan tambahan di luar tugas akademik atau menghadapi ancaman penilaian yang tidak adil jika mereka menolak. Menurut Dr. Pauline Clance, ahli psikologi, penyalahgunaan kekuasaan seperti ini dapat menyebabkan trauma psikologis pada korban, termasuk rasa rendah diri dan hilangnya motivasi belajar. Mahasiswa yang mengalami situasi ini sering kali enggan melaporkan kasusnya karena takut akan dampak negatif pada masa depan akademik mereka. Untuk mencegah hal ini, kampus harus memiliki sistem pengawasan yang ketat dan mendukung budaya akademik yang etis. Hal ini mencakup pemberian edukasi kepada dosen tentang pentingnya menjaga hubungan profesional dengan mahasiswa.
Salah satu efek jangka panjang dari penyalahgunaan kekuasaan adalah terciptanya budaya diam yang memperkuat siklus ketidakadilan di lingkungan kampus. Ketika kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan tidak ditangani dengan baik, hal ini mengirimkan pesan bahwa perilaku tersebut dapat diterima. Budaya diam ini membuat korban enggan untuk berbicara atau melaporkan kasus mereka, sementara pelaku merasa memiliki impunitas. Menurut Prof. Elizabeth Holloway, seorang ahli etika profesional, budaya seperti ini merusak integritas institusi dan mengurangi kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan. Selain itu, penyalahgunaan kekuasaan menghambat potensi individu, baik itu dosen junior maupun mahasiswa, untuk berkembang secara maksimal. Mereka yang menjadi korban sering kali kehilangan rasa percaya diri dan motivasi untuk berkontribusi di lingkungan akademik. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengurangi kualitas pengajaran, penelitian, dan inovasi yang dihasilkan oleh institusi pendidikan. Oleh karena itu, mengatasi budaya diam adalah langkah krusial untuk menghentikan penyalahgunaan kekuasaan di kampus.
Para ahli sepakat bahwa penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan kampus hanya dapat diatasi melalui perubahan sistemik dan budaya yang mendalam. Menurut Dr. Simon Western, seorang pakar kepemimpinan, institusi pendidikan harus mengadopsi gaya kepemimpinan yang lebih inklusif dan berbasis kolaborasi untuk menggantikan budaya hierarkis yang mendukung penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, penting untuk memiliki kebijakan yang jelas dan transparan mengenai pelaporan kasus penyalahgunaan kekuasaan, termasuk perlindungan bagi pelapor. Kampus juga perlu memberikan pelatihan rutin tentang etika profesional dan kesadaran akan pentingnya menjaga hubungan yang sehat di lingkungan akademik. Implementasi kebijakan ini memerlukan komitmen penuh dari pihak manajemen kampus, termasuk rektor dan dekan, untuk memastikan bahwa semua anggota komunitas akademik merasa dihargai dan terlindungi. Selain itu, pemberian penghargaan kepada dosen dan mahasiswa yang mempraktikkan nilai-nilai etika profesional dapat menjadi langkah positif untuk mendorong perubahan budaya. Dengan demikian, institusi pendidikan dapat menciptakan lingkungan akademik yang sehat dan bermartabat bagi semua pihak.
Pencegahan penyalahgunaan kekuasaan juga membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh komunitas kampus. Dosen junior dan mahasiswa harus diberdayakan untuk bersuara jika mereka mengalami atau menyaksikan penyalahgunaan kekuasaan. Kampus dapat membentuk forum atau organisasi yang memungkinkan mereka untuk berbagi pengalaman tanpa rasa takut. Selain itu, pendidikan tentang hak-hak individu di lingkungan akademik perlu diberikan sejak dini, baik kepada dosen maupun mahasiswa. Menurut Dr. Brené Brown, keberanian untuk berbicara tentang ketidakadilan adalah langkah awal untuk menciptakan perubahan yang bermakna. Dengan memberdayakan komunitas akademik, penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalkan, dan budaya saling menghormati dapat tumbuh. Partisipasi aktif ini akan menciptakan rasa tanggung jawab kolektif untuk menjaga lingkungan kampus yang bebas dari penyalahgunaan kekuasaan. Dengan demikian, semua pihak dapat merasa aman dan nyaman untuk berkembang di lingkungan akademik.
Secara keseluruhan, penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan kampus adalah permasalahan serius yang membutuhkan perhatian dan tindakan segera. Baik dalam hubungan antara dosen senior dan junior maupun dosen dan mahasiswa, penyalahgunaan kekuasaan merusak nilai-nilai fundamental institusi pendidikan. Pendapat para ahli seperti Dr. Edgar Schein, Prof. Robert Sutton, dan Dr. Simon Western menunjukkan bahwa perubahan budaya dan kebijakan adalah kunci untuk mengatasi masalah ini. Institusi pendidikan harus memastikan bahwa semua anggota komunitas akademik diperlakukan secara adil dan memiliki kesempatan untuk berkembang tanpa tekanan atau intimidasi. Melalui kebijakan yang transparan, pelatihan etika profesional, dan pemberdayaan komunitas kampus, penyalahgunaan kekuasaan dapat dihentikan. Dengan menciptakan lingkungan akademik yang sehat dan bermartabat, institusi pendidikan dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal untuk mencetak generasi yang berintegritas dan berkompeten. Langkah ini bukan hanya tanggung jawab manajemen kampus, tetapi juga seluruh komunitas akademik untuk bersama-sama menciptakan perubahan positif.