Cinta di Antara Bayangan Part 3

Hari-hari berlalu, dan Damar berusaha untuk kembali ke rutinitasnya. Namun, bayangan Raka selalu menghantuinya. "Apakah aku telah membuat keputusan yang tepat?" tanyanya pada diri sendiri. Lila selalu ada di sampingnya, memberikan dukungan dan cinta yang tak tergoyahkan. Namun, setelah sepuluh hari berlalu, Damar masih tidak bisa melupakan tatapan Raka yang penuh emosi pada malam pertarungan itu. Setiap kali ia menutup mata, wajah Raka muncul, mengingatkannya pada ikatan darah yang tak terputus. Dalam keheningan malam, Damar merasa terjebak antara cinta dan tanggung jawab.
Akhirnya, Damar membuat keputusan yang sulit. Ia merasa bahwa untuk menemukan kedamaian, ia harus pergi dari desa dan meninggalkan semua yang ia cintai, termasuk Lila. "Aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang Raka," pikirnya, hatinya bergetar. Dengan hati yang berat, ia menulis sepucuk surat untuk Lila. "Maafkan aku, Lila. Aku harus pergi untuk menemukan diriku sendiri," tulisnya, air mata mengalir di pipinya. "Kau adalah cahaya dalam hidupku, tetapi aku tidak bisa membiarkan masa lalu menguasai masa depanku." Setelah menulis surat itu, Damar merasakan beban di hatinya sedikit berkurang.
Pagi-pagi sekali, sebelum fajar menyingsing, Damar meninggalkan desa. Ia berjalan perlahan, menatap rumah-rumah yang telah menjadi bagian dari hidupnya. "Semoga kau mengerti, Lila," bisiknya, merasakan kesedihan yang mendalam. Saat ia melangkah keluar dari batas desa, ia menoleh sekali lagi, berharap melihat Lila di jendela. Namun, tidak ada sosok yang terlihat, hanya kesunyian yang menyelimuti. Dengan langkah mantap, Damar melanjutkan perjalanannya, bertekad untuk menemukan jati dirinya.
Di tengah perjalanan, Damar merenungkan semua yang telah terjadi. "Apakah aku akan menemukan Raka?" tanyanya pada diri sendiri. "Atau akankah aku hanya berlari dari kenyataan?" Ia merasa bingung, tetapi hatinya bertekad untuk mencari jawaban. Dalam perjalanan, ia melewati hutan yang lebat, tempat di mana ia dan Lila sering berbagi cerita. Kenangan indah itu membuatnya semakin merasa kehilangan, tetapi ia tahu bahwa ia harus melanjutkan.
Setelah beberapa hari berjalan, Damar tiba di sebuah desa kecil yang terpencil. Di sana, ia bertemu dengan penduduk yang ramah, tetapi hatinya tetap kosong. "Aku tidak bisa tinggal di sini," pikirnya, merindukan Lila dan desa yang telah ia tinggalkan. Ia mulai berlatih bertarung, berusaha mengalihkan pikirannya dari rasa sakit yang menggerogoti hatinya. "Aku harus menjadi lebih kuat," tekadnya, berlatih siang dan malam. Namun, meskipun fisiknya semakin kuat, hatinya tetap terasa hampa.
Suatu malam, saat Damar berlatih di bawah sinar bulan, ia mendengar suara yang familiar. "Damar!" teriak suara itu, dan ia menoleh dengan cepat. Ternyata, itu adalah Raka, berdiri di depan Damar dengan tatapan serius. "Kau meninggalkan desa tanpa berpamitan. Kenapa?" tanya Raka, suaranya penuh ketegangan. Damar merasa terkejut, tetapi ia tidak bisa mengabaikan perasaannya. "Aku harus pergi, Raka. Aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayangmu," jawab Damar, berusaha tegar.
Raka menghela napas, terlihat bingung. "Aku tidak ingin kau pergi, Damar. Kita adalah saudara, dan kita seharusnya bersama," katanya, suaranya lembut. Damar merasakan perasaan campur aduk di dalam hatinya. "Tapi kau telah memilih jalan yang berbeda, Raka. Aku tidak bisa mengikuti jejakmu," jawab Damar, berusaha menjelaskan. Raka menatap Damar dengan penuh harapan. "Kita bisa memperbaiki semuanya. Kembali ke desa, dan kita bisa melindungi mereka bersama."
Damar merasa terombang-ambing antara dua dunia. "Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi," katanya, suaranya bergetar. Raka mendekat, "Aku berjanji, Damar. Aku akan berjuang untuk kita, untuk keluarga kita." Damar merasakan ikatan yang kuat, tetapi ia juga ingat semua yang telah terjadi. "Aku perlu waktu untuk berpikir," jawabnya, hatinya berkonflik. Raka mengangguk, memahami betapa sulitnya situasi ini.
~bersambung~